News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Ketua LPA Lampung Tengah Eko yuwono Menyoroti Siswa Di Salah Satu SMA Negeri Yang Memutuskan Berhenti Sekolah Akibat Tinggal Kelas

Ketua LPA Lampung Tengah Eko yuwono Menyoroti Siswa Di Salah Satu SMA Negeri Yang Memutuskan Berhenti Sekolah Akibat Tinggal Kelas

Lampung Tengah.( TARGETWARTA )- 
Dampak psikologis, tekanan dari orang tua, dan kawan-kawan, menjadi dampak akibat tidak naik kelas, ironinya sang anak akhirnya memutuskan berhenti sekolah, sebagai bentuk rasa bersalah.

Dampak negatif dari putus sekolah sangat luas, seperti terbatasnya kesempatan kerja, penurunan status sosial, dan masalah psikologis pada sang anak.  

Namun, pihak sekolah tidak pernah berpikir, atau mempertimbangkan hal ini akan terjadi terhadap sang anak, sementara pindah ke sekolah lain sebagai alternative naik kelas dapat memberatkan secara ekonomi bagi orang tua anak.

Salah satu contoh, siswa di salah satu SMA Negeri terkemuka di Kab.Lamteng, dinyatakan tidak naik kelas oleh pihak sekolah, dengan berbagai alasan yang tidak bisa untuk memberikan kesempatan bagi sang anak naik ke kelas selanjutnya.

Sementara hanya ada satu solusi yang diberikan pihak sekolah apabila ingin naik ke kelas selanjutnya, sang siswa harus pindah dari sekolah, atau tetap bertahan dengan konsekuensi mengulang kembali di kelas yang lama.

Dari keterangan orang tua siswa menyebut bahwa, dirinya sudah berusaha menemui pihak sekolah untuk membicarakan hal ini, dan memohon ada solusi terbaik agar anaknya bisa naik ke kelas selanjutnya, dengan konsekuensi, siap menerima apapun bentuk perjanjian yang diberikan pihak sekolah.

"Tapi pihak sekolah tetap pada pendiriannya. Artinya apa yang diputus pihak sekolah sudah final. Bahkan sempat saya katakan, sang anak terpaksa putus sekolah, apabila harus pindah ke sekolah lain, dengan pertimbangan jarak yang lebih jauh, dan harus mengeluarkan dana yang lebih besar," ujar orang tua siswa yang meminta identitasnya tidak dipublis, Jum'at (13/6/2025).

Yang lebih membuat saya terhenyuh lanjutnya, saat sang anak menyatakan dia tidak mau lagi bersekolah, dan akan pergi untuk mencari pekerjaan. Hal dikatakan sang anak, bentuk rasa bersalahnya kepada saya sebagai orang tua.

"Kata-kata yang di ucapkan anak saya itu membuat saya merasa sudah gagal dalam mendidik anak. Dan saya merasa tidak ada kesempatan yang diberikan pihak sekolah terhadap anak saya untuk bisa menyelesaikan pendidikannya yang tinggal satu tahap lagi," ungkapnya.

"Tentunya, kami sebagai orang tua percaya menyerahkan anak-anak kami bersekolah dengan tujuan agar sang anak bisa lebih baik dari sebelumnya, baik dari segi karakter, akademis, maupun dari segi yang lain. Tetapi saat pihak sekolah tidak bisa membentuk karakter anak, secara tidak langsung, pihak sekolah dan orang tua siswa telah gagal membina sang anak agar bisa lebih baik," keluhnya.

Dalam persoalan anak memilih putus sekolah, karena tidak naik kelas menjadi persoalan penting yang menjadi tanggung jawab kita semua, dan program pemerintah dalam mewujudkan merdeka belajar tanpa adanya siswa yang tinggal kelas perlu untuk kita pertanyakan.

Selain itu saat ini, pihak sekolah tanpaknya lebih mengutamakan pendidikan akademis, sementara pendidikan untuk membentuk karakter anak yang merupakan pondasi dari semua dasar pendidikan tampak terlupakan, atau bahkan sudah tidak ada lagi dalam kurikulum belajar. 

Sementara faktor yang menyebabkan minimnya penanaman nilai-nilai karakter di kalangan siswa, seperti kurangnya perhatian dari pihak sekolah, yang lebih berfokus pada prestasi akademik, dan pengaruh media sosial yang negatif saat ini, dan berdampak pada rendahnya kesadaran siswa tentang pentingnya nilai-nilai moral.

Namun, ironi bila pihak sekolah merasa menyerah, dan gagal dalam membentuk karakter siswa, dan harus mengembalikan siswa kepada orang tua.

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Posting Komentar